Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priayi atas kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat Bupati Jepara. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya R.M.A.A. Sosroningrat pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Peraturan kolonial pada waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristerikan seorang bangsawan, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (moerjam) keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini lahir pada tanggal 28 Rabiul akhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879) di Mayong, Afleding, Jepara, kemudian sekolah Belanda di Jepara, tempat kedudukan bapaknya menjadi Bupati. RA Kartini prihatin dan merasakan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan pada masa penjajahan. Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan. Hanya perempuan bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan. Beruntung, Kartini memperoleh pendidikan di ELS (Europes Lagere School).
Namun, Kartini hanya bisa memperoleh pendidikan hingga berusia 12 tahun. Karena menurut tradisi jawa, anak perempuan harus tinggal di rumah sejak usia 12 tahun hingga menikah. Tapi keinginan untuk sekolah lebih tinggi harus terkubur, karena Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903.
Dengan kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, beliau mulai belajar menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon. Dimulai dari belajar menulis dan berbagi dengan teman-teman Belanda inilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau mempelajari hal ini melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Kemudian beliau mulai berusaha untuk memajukan perempuan Indonesia yang masih memiliki status sosial rendah saat itu.
Banyak buku dan majalah dari kebudayaan Eropa yang dia baca. Bahkan di usia 20 tahun, beliau sudah membaca karya-karya yang berbahasa Belanda. Sehingga beliau punya pengetahuan yang luas tentang ilmu pengetahuan serta kebudayaan.
Dari buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul kemauan untuk memajukan perempuan pribumi, di mana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Broos Hooft, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di Hollandsche Lelie.
Menjelang hari pernikahannya, penilaian Kartini terhadap nilai-nilai adat Jawa mulai melunak dan menjadi lebih toleran. Ia berpendapat bahwa pernikahan akan memberikan berkah tersendiri agar bisa mewujudkan impiannya mendirikan sekolah bagi para perempuan pribumi di era Hindia Belanda.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih meninggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Di usia 24 tahun, tepatnya 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Adipati Ario sendiri sudah pernah memiliki tiga orang istri. Pernikahan Kartini dan Ario dilangsungkan pada tanggal 12 November 1903. Beruntung bagi Kartini, suaminya memahami keinginannya. Kartini diberi dukungan dan kebebasan untuk membangun dan mendirikan sekolah khusus wanita di bagian timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka
Kartini melahirkan anak pertama dan terakhirnya pada tanggal 13 September 1904 yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Empat hari kemudian atau lebih tepatnya pada tanggal 17 September 1904, Kartini mengembuskan napas terakhir pada usia 25 tahun. Jenazah sang pelopor emansipasi wanita itu dimakamkan di Desa Bulu di Kota Rembang.
Berkat kegigihan Kartini yang selalu berpikiran maju mengenai emansipasi wanita, kemudian didirikanlah sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Kota Semarang pada tahun 1912 dengan nama Sekolah Kartini. Kemudian diikuti oleh kota-kota berikutnya yaitu di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan kota lainnya. Yayasan Kartini sendiri dibentuk oleh seorang Belanda bernama Van Deventer yang merupakan tokoh politik etis.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda yaitu Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Setelah dikumpulkan, surat-surat ini kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara.
Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.
Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.
Terbitnya surat-surat Kartini ini menarik perhatian masyarakat Belanda. Pemikiran Kartini merubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan Jawa. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. hingga dibuatkannya lagu “Ibu Kita Kartini” oleh W.R Soepratman. Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Juga menetapkan tanggal 21 April menjadi Hari Kartini.
RA Kartini merupakan pahlawan wanita yang berani. Apalagi dalam memberdayakan perempuan. Banyak sekali sifat beliau yang bisa diteladani. Beliau sangat sederhana. Meskipun berasal dari kalangan bangsawan, RA Kartini tidak berpangku tangan dan diam saja di rumah. Beliau bergaul dan berteman dengan siapapun, sehingga beliau dikenal sebagai perempuan yang merakyat.
RA Kartini juga sangat menolak keras perilaku para bangsawan lain, yang mana mereka menggunakan derajat dan status untuk menindas kaum dibawahnya. Hal inilah yang membuat beliau sangat disenangi oleh rakyat. RA Kartini juga sosok pemberani yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang kemudian menjadikannya pahlawan emansipasi.
Jasa RA Kartini sangatlah besar bagi Bangsa Indonesia. Kalau RA Kartini pada zaman itu saja bisa memberikan sesuatu yang besar bagi bangsa, apalagi kita yang hidup dengan berbagai kemudahan serta teknologi canggih seperti saat ini.