Pasti ada diantara kita yang akhir-akhir ini merasa tidak baik-baik saja, bukan. Apakah itu kamu salah satunya? Bagaimana kamu mengatasi kondisi tersebut?
Memang, banyak sekali macam cara yang bisa kita lakukan untuk membuat mood kita kembali lagi. Salah satunya dengan tetap berpikir positif dengan kondisi saat ini. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, selalu optimis dengan segala macam keadaan.
Namun, kondisi tersebut tidak akan menjadi baik-baik saja jika dilakukan secara berlebihan lho. Bisa jadi, sikap optimis tersebut akan membuat kita menambah masalah baru.
By the way, udah tahu belum apa itu toxic positivity? Nah, akhir-akhir ini istilah tersebut sedang banyak sekali pembahasannya di media sosial sekarang. Biasanya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan sikap seseorang yang “terlalu positif”.
Tapi, sebenarnya apa sih toxic positivity itu? Dan apakah ada dampak buruk bagi kesehatan mental kita saat memiliki sikap yang positif tersebut?
Apa itu toxic positivity?
Jika dibedah dari katanya, toxic artinya beracun dan positivity artinya positif. Sederhananya, toxic positivity adalah suatu keyakinan berpikir positif yang berlebihan, namun berefek tidak baik.
Kenapa bisa begitu? Karena, faktanya kita berada dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, kita menuntut diri kita untuk selalu berpikir positif pada keadaan yang sedang terjadi. Kenyataanya, hal tersebut justru akan merugikan diri sendiri, alih-alih untuk menguatkan diri.
Tentu, berpikir positif itu bagus. Niatnya untuk memberi semangat agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Namun, sikap positif yang sudah dalam tahap toxic, tidak akan membuat diri menjadi lebih baik.
Sebab, toxic positivity bisa memaksa kita untuk membuang pikiran negatif. Padahal tidak ada salahnya dan tidak apa-apa jika hal tersebut diekspresikan. Diri akan menekan perasaan yang sebenarnya sedang terjadi. Sehingga, tidak heran jika banyak sekali dari mereka yang berpura-pura bahagia.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk jujur pada diri sendiri, bahwa saat ini memang keadaannya tidak sedang baik-baik saja. Kita juga butuh hal itu kok dalam hidup, agar masih memiliki kesadaran dalam diri.
Tahukah kamu, jika toxic positivity kebanyakan datang dari orang lain, terutama orang terdekat kita. Atau mungkin kamu salah satu pelaku toxic positivity tersebut, baik untuk orang lain atau diri kamu sendiri?
Hampir semua pelaku toxic positivity mengucapkan hal tersebut sebagai penyemangat. Namun, sayangnya tidak semua orang yang bercerita membutuhkan nasihat. Bisa jadi, mereka hanya butuh pendengar saja.
Ucapan tersebut tidak hanya bisa bikin orang semakin bersalah dan larut dalam kesedihan. Parahnya lagi toxic positivity juga memiliki efek buruk bagi kesehatan mental seseorang lho.
Mau tahu, dampak apa saja yang bisa dialami seseorang akibat mendapatkan perlakuan toxic positivity? Berikut dampak-dampaknya bagi kesehatan mental.
1. Menjadi kurang percaya diri atau pemalu
Pernah mendengar pepatah “bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami”. Yups, seperti itulah jika kita memaksakan diri untuk selalu berpikir positif meski sedang berada dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Memang, bagi sebagian orang berpikir positif bisa bikin perasaan lebih legah. Sayangnya, tidak sedikit pula dari mereka pun yang semakin terjerumus dalam lubang kesakitan lho.
Kok bisa? Ya, karena mereka menyadari akan sakit tersebut. Tapi, mereka mencoba tidak menghiraukannya. Membuatnya seakan tidak apa-apa, padahal masalah tersebut belum sepenuhnya terselesaikan dengan baik.
Mirisnya lagi, para pendengar alih-alih memberikan semangat yang salah, sehingga berujung toxic.
Misalkan saja, kita sedang mengalami masalah berat. Kita sudah mencoba untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita sudah berjuang keluar dari zona tersebut. Lalu, kita mendapatkan tanggapan dari mereka yang kita ceritai seperti ini.
“ya ellah, gitu doang. Udah gak usah sedih”
“Inget, masih banyak loh yang lebih rumit masalahnya dari kamu”
“Udah jangan dipikirin mulu, nanti juga lupa-lupa sendiri”
“Udah nggak usah sedih. lemah banget sih jadi orang”
Ya, memang tidak ada yang salah dari ucapan tersebut. Tapi, yang harus diingat, mereka hanya butuh pendengar bukan penasehat.
Inilah yang bisa bikin seseorang lebih memilih menyimpan dan memendam masalahnya sendiri. Sebab, percuma saja ketika bercerita toh nggak ada yang ngertiin perasaannya juga kan.
Selain itu, rasa tidak percaya akan diri sendiri semakin membaluti diri mereka. Mereka pun semakin percaya akan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pada akhirnya membuat mereka menjadi sosok yang pemalu.
2. Merasa terisolasi
Menjadi kuat itu harus! Menjadi sosok yang lebih ikhlas itu penting! Tapi, memiliki jiwa yang seolah-olah tangguh itu bukan jalan yang terbaik. Sebab, kondisi tersebut cenderung menciptakan kita sebagai sosok manusia yang tidak sewajarnya.
Alhasil, diri dan hati kita tidak memiliki koneksi yang baik. Jika diri kita sendiri tidak memiliki koneksi dalam satu frekuensi. Bagimana dengan orang lain disekitar kita? Tentu tidak ada yang terkoneksi.
Padahal, ketika sedang mengalami masalah atau dalam kondisi tidak baik-baik saja. Kita bisa dengan mudah minta bantuan orang di sekitar kita. Karena sebenarnya, saat itulah kita membutuhkan mereka.
Sayangnya, ucapan toxic positivity bisa memaksa kita untuk tidak jujur. Faktanya, saat itu kita sedang butuh pertolongan orang lain. Nah, kalau sudah begitu, tidak heran jika diri kamu merasa terisolasi. Tidak memiliki siapa-siapa bahkan tidak ada orang lain yang ada disisi kamu.
Paparan dari toxic positivity juga dalam menumbuhkan rasa ketidaknyamanan dalam mengekspresikan dirinya. Tidak heran, jika kebanyakan dari mereka lebih memilih menutup diri, menyimpan perasaannya, hingga pada akhirnya mereka mengucilkan diri sendiri.
3. Menyembunyikan dan menyangkal perasaan negatif
Tidak ada yang salah dari mengekspresikan emosi. Sebab, tidak semuanya hal negatif itu buruk. Ketika mengalami masalah, perasaan kesal, ingin menangis, ingin teriak, ingin mengeluh hingga marah. Ya, itu wajarlah! Namanya juga manusia punya perasaan sakit.
Kamu harus tahu, mengekpresikan perasaan negatif dapat membantu kita dalam mengatur respon stress lho. Apabila jika kita menekan perasaan emosi dan seolah-olah tidak ada apa-apa, malah bisa bikin kadar stress dalam diri semakin meningkat.
Poinnya, menyembunyikan dan mengangkal perasaan negatif dalam diri tidak akan bisa mengurangi masalah. Justru bisa jadi akan semakin menambah masalah. Entah hati semakin sakit, perasaan semakin terluka, hingga emosi pun juga bisa semakin tidak bisa terkontrol lagi.
Maka dari itu, tidak ada salahnya jika kita belajar menerima emosi, termasuk hal yang sangat menyakitkan.
Jadi, tolong jangan meminta diri kamu atau orang lain untuk menahan emosi. Mulai saat ini, pikirkan kembali jika ingin berkata “udah jangan emosi, toh nggak ada gunanya juga kan. Santai aja kali.”
Ingat ya! Mendapatkan motivator itu sangat mudah. Namun, mendapatkan pendengar yang baik sangatlah sulit. So, lebih baik simpan kata-kata mutiara penyemangatmu itu, sebab mereka yang sedang memiliki masalah tidak butuh itu.
Toxic positivity tidak hanya datang dari orang lain, namun diri kita sendiri juga bisa menjadi pelaku toxic positivity. Jaga lisan kita, agar tidak membuat diri kita atau orang lain terluka hingga stress.